Fenomena kelangkaan stok BBM swasta belakangan ini memicu perhatian publik. 

Dalam beberapa minggu terakhir, masyarakat mendapati SPBU milik badan usaha swasta seperti Shell, BP, dan Vivo mengalami kekosongan stok bahan bakar tertentu, sementara SPBU Pertamina dilaporkan tetap beroperasi normal. 

Perbedaan mencolok ini menimbulkan pertanyaan besar tentang stabilitas rantai pasok energi di sektor hilir migas Indonesia. 

Artikel ini membahas secara mendalam faktor-faktor pendorong kelangkaan BBM swasta, mulai dari kebijakan dan regulasi, dinamika pasar dan permintaan, hingga implikasi strategis bagi pelaku usaha, pemerintah, dan Pertamina.

Faktor Pendorong dari Sisi Kebijakan dan Regulasi

Di Balik Kelangkaan Stok BBM Swasta

Salah satu faktor penting dalam kelangkaan stok BBM swasta adalah kebijakan kuota impor dan mekanisme perizinan yang kompleks.

Dilansir dari Tempo.co Pemerintah melalui Menteri ESDM Bahlil Lahadalia menyatakan bahwa alokasi impor untuk tahun 2025 sudah diberikan secara substansial, bahkan 100 persen plus tambahan 10 persen dari realisasi kuota impor tahun sebelumnya.

Direktur Jenderal Migas ESDM, Laode Sulaeman, juga menegaskan pemerintah tidak akan menambah kuota impor BBM bagi SPBU swasta tahun ini.

Namun, fakta di lapangan menunjukkan adanya kendala pada sisi supply chain. Shell Indonesia, misalnya menjelaskan bahwa hambatan terjadi pada keterlambatan penerbitan izin impor.

Mereka baru menerima neraca komoditas pada 20 Januari 2025 dan persetujuan impor pada 23 Januari 2025, saat 25 persen SPBU mereka sudah kehabisan stok untuk beberapa produk. 

Situasi ini menunjukkan bahwa masalah bukan pada volume kuota yang diberikan, melainkan pada kecepatan birokrasi dalam mengimplementasikan kebijakan tersebut.

Skema “Satu Pintu”

Dikutip dari Tempo.co, pemerintah mendorong skema “satu pintu” pasokan melalui Pertamina. 

Direktur Jenderal Migas ESDM menyatakan Pertamina siap memasok BBM untuk SPBU swasta sebagai solusi sementara. 

Menteri ESDM bahkan mengundang operator swasta mengambil stok dari Pertamina, mengingat Pertamina memiliki kilang sendiri dengan pasokan besar. Namun, implementasi skema ini menghadapi tantangan teknis. 

Baca juga: 7 Rekomendasi Mobil Hybrid Bekas

BP-AKR, misalnya, masih mempelajari opsi ini karena perbedaan standar dan spesifikasi produk, khususnya aditif yang menjadi ciri khas masing-masing merek. 

Jika skema ini diterapkan permanen, struktur pasar hilir migas berpotensi berubah drastis, dengan badan usaha swasta bertransformasi menjadi distributor sekunder produk Pertamina, sehingga menimbulkan tantangan bagi identitas merek dan reputasi premium mereka.

Analisis Faktor Pendorong dari Sisi Pasar dan Permintaan

Dari sisi pasar, lonjakan konsumsi BBM nonsubsidi menjadi faktor utama kelangkaan stok BBM swasta.

Wakil Menteri ESDM Yuliot Tanjung menjelaskan bahwa pergeseran konsumsi dari Pertalite ke BBM nonsubsidi mendorong permintaan tinggi di SPBU swasta. 

Komunikasi pemerintah yang kurang jelas mengenai pembatasan BBM bersubsidi memperkeruh situasi. 

Sejumlah pengamat energi, termasuk Fahmy Radhi, memperingatkan bahwa wacana pembatasan tanpa sosialisasi yang memadai memicu panic buying.

Selain itu, terungkapnya dugaan skandal pengoplosan BBM Pertamina memperburuk kepercayaan publik. 

Baca juga: Mengenal Arti RON Dalam Bahan Bakar Dan Cara Mengetahui Kecocokan RON Bensin Pada Mobil

Kejaksaan Agung menemukan indikasi pencampuran Pertamax (RON 92) dengan Premium (RON 88), meskipun Pertamina membantah dan menyatakan bahwa proses penambahan aditif adalah standar industri. 

Namun, persepsi publik sudah terlanjur negatif. Banyak konsumen memutuskan beralih ke SPBU swasta seperti Shell, BP, atau Vivo yang mereka anggap lebih menjamin kualitas produk. 

Lonjakan permintaan mendadak ini menjadi beban berat bagi operator swasta yang pasokannya sudah terhambat.

Perbandingan Harga Bahan Bakar

Faktor harga juga menjadi pendorong. Data per Desember 2024 menunjukkan harga Pertamax (RON 92) Rp12.100 per liter, sedangkan Shell Super (RON 92) Rp12.290 per liter dan BP 92 Rp12.290 per liter. 

Sementara itu, pada September 2024, Vivo Revvo 90 dijual Rp11.950 per liter, bersaing ketat dengan Pertalite Rp10.000 per liter. 

Baca juga: Lagi Cari Mobil Irit BBM Dan Murah Perawatan? Ini Dia 8 Rekomendasinya!

Harga kompetitif ini semakin mendorong konsumen untuk beralih ke SPBU swasta, bahkan sebelum kelangkaan terjadi.

Faktor Utama yang Saling Terhubung

Jika dirangkum, kelangkaan stok BBM swasta adalah hasil interaksi kebijakan pemerintah yang membatasi impor dengan skema satu pintu, keterlambatan birokrasi penerbitan izin, serta lonjakan permintaan akibat pergeseran konsumsi dan krisis kepercayaan publik. 

Harga yang kompetitif memperkuat migrasi konsumen. Situasi ini menciptakan ketidakseimbangan ekstrem yang sulit diantisipasi oleh operator swasta, bahkan dengan alokasi impor yang sudah ditetapkan. 

Solusi pemerintah berupa pembelian stok dari Pertamina pun masih dalam tahap pembahasan teknis sehingga tidak dapat menyelesaikan masalah secara instan.

0 Shares:
Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You May Also Like